Seorang kawan pernah meluapkan kekecewaan pada statistik pemerintah yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dia marah dan mengatakan bahwa data BPS ngawur dan BPS tidak melihat kondisi lapangan.
”Baca di koran enggak? Katanya, angka inflasi turun, dari 0,84 persen pada Januari 2010 ke 0,30 persen pada Februari 2010. Padahal, di pasar harga-harga tetap naik. Kalau Anda tidak percaya, ayo kita ke pasar!” Saya mencoba menenangkan teman saya ini. Saya katakan ke teman tersebut bahwa sekarang sudah memasuki Maret 2010. Data yang diumumkan BPS itu untuk Februari 2010.
Dengan begitu, kita tidak bisa mencocokkan data BPS itu dengan yang sekarang terjadi di pasar. ”Baik. Kalau begitu, Anda percaya saja pada saya. Hampir setiap minggu saya pergi ke pasar. Bulan lalu saya juga ke pasar. Dan bulan lalu pun saya melihat kenaikan harga itu. Nah, apakah ini cocok dengan data BPS?” Saya bertanya kepada teman tersebut, apa saja yang dia beli bulan lalu.
Teman saya agak meradang dengan pertanyaan saya. ”Tentu saja saya beli beras. Juga cabai rawit, yang jadi hobi saya. ”Anda beli ikan segar dan telur ayam ras atau tidak?” ujar saya. "Tentu saja tidak, saya vegetarian. "Lalu, ada apa? Anda beli minyak goreng?” tandas saya lagi. ”Saya mengikuti pola hidup sehat, saya jarang menggoreng.” ”Bulan lalu, Anda membeli pakaian atau tidak?” ”Saya orangnya sederhana. Tidak berhobi membeli pakaian. Bulan lalu saya sama sekali tidak membeli pakaian. Pertanyaan Anda makin aneh saja!” ”Beli emas?”
”Pertanyaan apa lagi ini. Saya tak punya uang untuk membeli emas.” Melihat teman saya makin kesal dengan pertanyaan saya, saya pun kemudian mengatakan kepadanya bahwa kebetulan sekali barang-barang yang tidak dia konsumsi (ikan segar, telur ayam ras, minyak goreng, pakaian, dan emas) sedang mengalami penurunan harga pada Februari.
Celakanya, harga beras dan cabai rawit, yang dia konsumsi, justru meningkat banyak. Saya katakan kepadanya bahwa dia kesal pada data BPS karena dia mengonsumsi barang-barang yang harganya naik. Kebetulan pula dia menyewa rumah dan sewa rumah memang naik pada Februari.
Teman saya terdiam, tetapi dia tampak sangat tidak puas. Dia paham bahwa angka inflasi 0,30 persen pada Februari 2010 itu angka rata-rata. Yang turun dari Januari ke Februari adalah angka rata-rata. Tiba-tiba dia mengalihkan persoalan. ”Anda ingat tidak bahwa angka inflasi pada 2009 jauh lebih rendah daripada angka inflasi pada 2008?” ”Ya, ingat. Inflasi mencapai 11,06 persen pada 2008, kemudian turun drastis menjadi 2,78 persen pada 2009.” ”Jadi,rata-rata harga pada 2009 jauh lebih rendah daripada pada 2008 bukan?” tanya teman saya dengan tertawa yang setengah mencemooh. ”Oh.Tidak.” ”Kalau begitu, benar kan bahwa BPS ngawur,” kata teman saya dengan senyum lebar.
Saya kemudian menjelaskan bahwa angka inflasi menunjukkan rata-rata kenaikan harga. Angka inflasi bukanlah rata-rata harga, melainkan rata-rata kenaikan harga. Kalau inflasi turun, yang turun adalah kenaikannya. Selama masih naik, walau kenaikannya turun, harga tentu terus menjadi lebih mahal. Itulah yang menyebabkan tampak ada ”ketidakcocokan” di statistik dan di pasar.
Inflasi yang menurun memang tidak mengatakan harga yang menurun. Selama masih ada inflasi (selama inflasi masih positif), harga masih akan naik terus. Teman saya terdiam.
Mencoba merenung, perbedaan antara kenaikan harga dan harga itu sendiri. Penurunan inflasi berarti penurunan kenaikan harga, sedangkan harga itu sendiri masih meningkat. Contoh lain yang amat mencolok adalah yang terjadi pada 2005 dan 2006. Angka inflasi turun amat drastis dari 17,11 persen pada 2005 menjadi 6,60 persen pada 2006.
Harga turun dengan drastis? Daya beli masyarakat meningkat? Karena inflasi masih positif, rata-rata harga pada Desember 2006 hampir 25 persen lebih tinggi daripada rata-rata pada Januari 2005. Kalau tidak ada peningkatan dalam pendapatan,daya beli masyarakat justru menurun. BPS tidak salah karena di seluruh dunia inflasi memang menunjukkan kenaikan harga, bukan harga itu sendiri.
Teman saya mengangguk-angguk. Dia paham mengenai statistik inflasi. BPS tidak salah. ”Tetapi,” teman saya masih penasaran, ”Tidak perlukah kita menyajikan statistik yang lain agar kita dapat lebih memahami harga dan daya beli masyarakat?” Dia mengatakan bahwa kita perlu statistik selain inflasi. Selama ini dia selalu mengira bahwa inflasi yang turun berarti harga yang turun.
Menurut dia, banyak orang lain yang berpikir seperti dia. Dia mengatakan, kalau bukan ekonom, tentu tidak akan tahu hal ini. Saya menimpali, ”Ada juga ekonom yang tidak tahu hal itu.......Tetapi, mestinya itu hanya kebetulan saja.” ”Aris, bagaimana kalau tiap bulan pemerintah juga mengatakan bahwa harga-harga tetap terus naik, dan tidak hanya mengatakan apakah inflasi turun atau naik. Harga dikatakan turun, bila inflasi negatif.”
”Menurut teori ekonomi, harga yang turun itu tanda ekonomi lesu. Jadi, harga yang menurun tidak baik untuk perekonomian,” saya mencoba menerangkan ke teman itu. ”Aris, Anda ini bicara apa? Tiap bulan harga naik. Tapi, honor yang saya peroleh dari mengajar tidak naik tiap bulan. Bahkan setahun atau dua tahun pun sering tidak naik. Kalaupun naik, itu bukan karena penyesuaian dengan kenaikan harga. Penghasilan saya hanya meningkat kalau saya mengajar lebih banyak. Maaf,saya bukan ekonom.” Saya terdiam. Tak dapat menjawab pertanyaan ini. Saya merenungi lagi semua teori ekonomi yang pernah saya pelajari.
Memang kita perlu mempelajari lagi (re-learn) teori ekonomi. Kita perlu teman-teman yang bukan ekonom untuk memberikan pertanyaan fundamental untuk memaksa para ekonom (termasuk saya) mengkaji ulang ”dogma” yang sering kita pelajari, termasuk statistik yang kita pakai.
Mungkin ada baiknya bila para ekonom mencoba ”memasyarakatkan” konsep ekonomi secara luas agar para bukan ekonom (dan juga ekonom) tidak menyalahartikan statistik ekonomi. Setiap pengumuman statistik ekonomi perlu penjelasan mengenai apa yang diperlihatkan statistik itu. Inflasi adalah salah satu contoh.
0 comments:
Posting Komentar